Kaprodi S3 IS Beri kuliah Umum di STIS Hidayatullah Balikpapan

Kaprodi Program Doktor Ilmu Syariah (IS) Mujiburohman, MA., Ph.D memberikan kuliah umum di hadapan para asatidz, dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, Jum’at (25/03/22) di Aula STIS Hidayatullah.

Dalam kesempatan tersebut, Mujiburohman berbicara tentang “Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan di Indonesia menurut Pemikiran para Hakim Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan”. Ia menjelaskan bahwa  Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen,hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing-masing penduduk.

Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat
dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak mencatat dan menggambarkan tentang
evolusi hukum termasuk dalam hal hukum keluarga.

Mujib juga menjelaskan tentang kekosongan hukum seperti : tidak adanya sanksi untuk pernikahan yang tidak dicatatkan; Pembebanan nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madhiyah dalam perkara gugat cerai; dan masih belum terlindungi hak-hak anak pasca perceraian di dalam UU No. 16/2019 serta terobosan hukum putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / 2010 tentang anak hasil perkawinan yang tak tercatat.

Mujib menambahkan bahwa MK menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan UUD NKRI 1945, dan tidak mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.