Membaca Kajian Interdisiplin TASAWUF

PAK MUJIB DAN TASAWUF KONTEMPORER

Oleh Nur Hidayatullah

Profesor Mujiburrahman, akrab dipanggil Prof Mujib atau Pak Mujib, merasa tak pandai berbahasa Arab. Padahal ia meraih nilai tertinggi saat tes bahasa Arab di LIPIA Jakarta, dan diberi tawaran beasiswa di Jami’atul Imam Muhammad bin Suud. Tawaran tersebut tak dimbil, justru banting stir melanjutkan kuliah S2 di Faculty of Religious Studies, McGill University, Kanada. Saat liburan, ia berhasil menerjemahkan buku “ad-Din wa ad-Dawlah wa Tathbiq asy-Syari’ah” karya Abid Al-Jabiri ke bahasa Indonesia dengan judul “Agama, Negara, dan Penerapan Syariah”. Diterbitkan Fajar Pustaka Baru Yogyakarta, tahun 2001.

Dalam kesempatan lain, Yusran Pare, seorang Wartawan, memintanya menulis artikel di Banjarmasin Post. Pak Mujib menjawab, tulisan saya tidak bagus. Ia dibujuk agar berkenan menulis. Setelah tulisan jadi, wartawan tadi berkomentar, ini bukan tidak bagus, malah bagus sekali. Wajar, saat studi di Kanada dulu, ia mendapatkan nilai A, dan empat tugas kuliahnya tembus di jurnal internasional bereputasi. Bahkan disertasinya “Feeling Threatened : Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order” yang dibimbing oleh Martin van Bruinessen dan Karel Steenbrink dicetak di Amsterdam tahun 2006. Tidak cukup sampai disitu, kelulusannya dimuat koran Belanda serta diundang oleh stasiun Radio disana.

Dan, sekitar 3 minggu yang lalu, usai pembukaan acara AICIS 2024 di UIN Walisongo Semarang, Profesor Mujiburrahman hendak beristirahat ke Hotel Santika. Malam itu langit bergerimis hujan, dan mobil angkutan atau taksi online sedang sulit dicari karena banyak orang sedang memakai jasa itu. Akhirnya, beliau naik ojek ke hotel sendirian tanpa pendamping. Ia tak merasa canggung naik ojek meski berstatus Rektor UIN Antasari dan Presiden Asian Islamic Universities Association (AIUA). Dalam beberapa tulisannya pun, baik buku cetak, artikel jurnal, surat kabar, maupun media elektronik, gelar Profesor doktor-nya selalu ditinggal, cukup “Mujiburrahman” saja.

Beberapa kisah di atas merupakan salah satu bentuk ketawadhuan Pak Mujib yang tidak dibuat-buat. Dia memang apa adanya. Meski mempunyai segudang prestasi sejak di bangku Pesantren, namun senantiasa bersikap rendah hati dan tidak sombong. Ini sesuai dengan ajaran Islam, padi semakin berisi semakin merunduk. Saat mondok di Pesantren Al-Falah Banjarbaru, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman, baik ilmu wasail maupun maqashid, tentu termasuk juga ilmu-ilmu metodologis seperti ushul fiqh, qawaid fiqhiyah, ulumul hadis, dan lainnya.

Di antara pelajaran yang ia sukai ketika di Pondok dulu adalah Tasawuf. Berbagai kitab tasawuf yang ditulis banyak ulama ia baca, mulai tingkat pemula, menengah, hingga tingkat tinggi. Ia sangat menggemari karya-karya Imam Al-Ghazali. Tidak cukup di pondok, karena gairah keilmuan yang tinggi, pada waktu-waktu tertentu, ia talaqqi kepada KH Muhammad Zaini atau Guru Zaini Sekumpul di Keraton Martapura, mengkaji beberapa kitab kuning, antara lain Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali, Tafsir Marah Labid Syekh Nawawi Banten, Risalah Mu’awanah Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, dan Shahih Bukhari. Kitab-kitab ini tentu memberikan pengaruh dahsyat dalam kehidupannya. Karena tasawuf mengajarkan kebersihan jiwa kesucian batin, bagaimana menata hati dengan baik, menghilangkan sifat-sifat tercela seperti takabbur, ujub, riya, dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji seperti qona’ah, sabar dan bersyukur, tawadhu, dan seterusnya.

7 Februari lalu, saya diundang Pak Mujib bertemu beliau di Hotel Gumaya Semarang. Saya diberi hadiah buku terbarunya yang berjudul “Tasawuf : Merintis Kajian Interdisiplin”. Senang sekali rasanya diberi langsung oleh penulisnya. Tidak begitu lama pertemuan kami, Pak Mujib mau terbang ke Jakarta, ada rapat dengan Duta Besar Kanada, tentu ada kerjasama yang hendak beliau bangun, sebagaimana telah menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga dan kampus di luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Saudi Arabia, Thailand, dll.

Sepulang dari hotel, saya bersiap membaca buku tasawuf tadi. Awalnya hanya ingin membaca sekilas, ternyata tak bisa, saya dibuat hanyut penulisnya, halaman demi halaman saya resapi hingga khatam. Biasanya, suatu buku dinilai baik atau tidak, dilihat dari daftar pustakanya. Daftar Pustaka buku tasawuf ini lebih dari 250 buku/kitab dengan berbagai disiplin keilmuan, baik kajian keislaman, biografi tokoh, maupun ilmu-ilmu sosial modern, yang ditulis oleh ulama dan ilmuan klasik dan modern, di timur dan di barat, disertai dengan wawancara langsung kepada sejumlah tokoh. Kesimpulan pertama saya, ini adalah buku bagus dan berbobot.

Penulisnya berbeda dengan penulis buku-buku tasawuf pada umumnya. Umumnya, penulis kitab tasawuf banyak mengutip maqolah ulama dan ilmuan klasik baik saat menjelaskan pemikiran, sejarah maupun perkembangannya. Tapi Pak Mujib menyajikannya berbeda. Ia suguhkan pemikiran para ulama klasik, baik ulama sufi, fiqh, maupun ulama ushul, lalu ia kaji dengan berbagai pendekatan, dicampur juga dengan teori-teori ilmu sosial dan humaniora. Ia bisa mengolah sedemikian karena punya tradisi keilmuan pesantren yang baik, dan tradisi intelektual orang-orang Barat, karena pernah mengenyam studi di Kanada dan Belanda, pengalaman sebagai peneliti tamu di ISIM Leiden (2007), EHESS Paris (2011), dan KITLV Leiden (2015), serta pengalaman interaksi dengan banyak tokoh dunia, khususnya para akademisi.

Dan tentu, kajian dan praktek tasawuf itu sendiri telah dilakukan Pak Mujib sejak usia kanak-kanak. Ia lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang agamis dan intelek. Ayahnya KH Jamhari Arsyad, merupakan satu di antara ulama intelek pada masanya. Hal ini memberikan pengaruh pada kesehariannya. Pak Mujib dipandang baik oleh para ulama di daerahnya, di antara ulama kharismatik Kalimantan Selatan yang berinteraksi dengannya: KH. Ahmad Makkie, KH. Husin Naparin, KH. Fahmi Zamzam, KH. Muhammad Hatim Salman, KH. Muhammad Bakhiet, dan KH. Ahmad Zuhdiannor; juga oleh Ulama akademisi seperti Prof. Dr. KH. Zurkani Yahya, MA dan Prof. Dr. KH. Ahmad Fahmie Arief, MA. Sejatinya, Pak Mujib ini bukan hanya akademisi atau Guru Besar Sosiologi Agama, tapi juga seorang ulama. Di luar tugas kampus, ia melayani masyarakat mengisi pengajian, kultum, dan khutbah. Bahkan di kampus sendiri, ia mengajarkan beberapa kitab tasawuf karangan Imam Al-Ghazali kepada para mahasiswa/i hingga khatam. Jika kita simak tulisan-tulisannya, seringkali kita temukan ada nuansa tasawuf disana. Secara spesifik ia sosiolog agama, tapi disisi yang lain ia juga seorang generalis, yang mengetahui banyak hal dengan baik. Meski punya kesibukan sebagai “Kepala Sekolah” – istilah yang sering digunakan Pak Mujib untuk jabatannya sebagai rektor – ia tetap rutin menulis dan meneliti. Tampaknya ia sangat menjiwai makna istiqamah atau konsisten dalam kebaikan. Selama masih hidup, selama itu pula bergerak aktif menebar kebaikan.

Buku Referensi untuk Pengembangan Penelitian Tasawuf

Kalau kita membaca buku Tasawuf yang dikarangnya, maka kita temukan banyak hal baru dalam buku ini. Buku ini memuat pendahuluan dan sembilan bab. Mula-mula, ia paparkan aneka pendekatan dalam mengkaji tasawuf. Pendekatan yang ditawarkan ada pendekatan historis, filologis, fenomenologis, tradisionalis, reformis, dan sosiologis. Dengan banyaknya pendekatan dalam satu topik penelitian, tentu akan membawa hasil yang lebih komprehensif dan mendalam. Pada bab dua, diuraikan perjumpaan psikologi dan tasawuf menuju integrasi dinamis. Menurutnya, apapun yang kita pelajari, baik dunia empiris atau metafisika, semua itu menunjukkan tanda-tanda kehadiran Tuhan. Psikologi berbasis ayat-ayat empiris, sementara tasawuf memperkaya dengan ayat-ayat spiritual metafisis.

Pada bab tiga, diulas tentang Agama, Media, dan Imajinasi: Tinjauan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporer. Dalam kajian ilmu sosial yang dicari adalah pemahaman rasional; berbeda dengan yang dicari oleh kaum sufi yaitu tahqiq, merealisasikan kebenaran di dalam jiwa melalui pengalaman batin. Bab empat, penulis menyajikan fenomena niat: antara Imam Ghazali dan Imam Suyuti. Penulis membandingkan konsep niat dalam keilmuan fiqh dan tasawuf. Dari sisi fiqh, merujuk kepada kitab al-Asybah wan Nazhair karya Imam Suyuti; sementara sisi tasawuf mengutip Ihya Ulumiddin Imam Ghazali. Uraian ini menarik, ulasannya dalam, lebih dari sekedar yang diketahui orang pada umumnya.

Bab lima mengungkap kritik Fazlur Rahman terhadap tasawuf. Untuk memahami pandangan Rahman terhadap tasawuf, penulis mengaitkannya dengan posisi Rahman sebagai cendekiawan muslim yang mengambil tanggung jawab untuk memperbarui Islam dan kaum muslimin, khususnya Pakistan. Menurutnya, rekonstruksi etika Islam merupakan suatu keniscayaan dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern.

Bab keenam seputar tasawuf di Masyarakat Banjar: kesinambungan dan perubahan tradisi keagamaan. Bab ketujuh menyoroti kontroversi ajaran dan penyebaran kitab Durrun Nafis di ruang publik. Bagi saya pribadi, dua bab ini merupakan yang paling menarik, karena memuat local wisdom masyarakat Kalimantan Selatan, serta kaitannya dengan pemikiran tasawuf di tingkat global, yakni paham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan sejak abad 18 hingga abad 20, setidaknya bisa diambil empat ponting: 1) ajarannya perpaduan antara tasawuf etis dab metafisis, 2) ada beberapa kasus yang bentuknya di luar koridor tasawuf Islam ortodoks, 3) kepercayaan terhadap wali dan keramat tertanam di masyarakat, dan 4) kondisi sosial politik mempengaruhi perkembangan tasawuf di daerah ini.

Di bab tujuh, diurai ketegangan konflik perihal kitab Durrun Nafis karya Syekh Muhammad Idris al-Banjari secara mendalam dan komprehensif. Penulisnya merupakan ulama yang sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang mengamalkan lima tarekat mu’tabarah. Namun kitab yang disusunnya dianggap kontroversial di tengah masyarakat. Hal ini wajar, mengingat kitab ini bukan untuk pemula, hanya diperuntukkan orang-orang khusus. Sehingga komentar dari para ulama dan akademisi pun beragam. Ada yang menganggapnya bukan ahlus sunnah seperti yang ditulis oleh Laily Mansur dalam skripsinya, ada juga yang menganggapnya kitab yang berbahaya bahkan sesat seperti yang diungkapkan oleh H Djanawi, H Abdullah Nafiah, dan H Hamdan Chalid. Pandangan netral ikut mewarnai seperti kajian skripsi oleh M. Ilham Masykuri Hamdi di IAIN Jakarta dan tesis Abdul Muthalib di McGill University. Demikian juga pernyataan dari H Saberan Affandi jebolan doktor Universitas Ummul Qura, menurutnya tidak mudah menuduh orang beriman berpaham wahdatul wujud, hulul, dan ittihad sebagai sesat. Lagi pula Ibnu Arabi juga menegaskan ajaran tauhid dan melazimi syariat. H Noor Salim Safran juga berpandangan netral, ia menyikapi dengan bijak, agar memperhatikan tiga hal: 1) kitab yang diajarkan, 2) guru yang mengajarkan, dan 3) murid yang belajar. Selanjutnya ada juga yang bersimpati pada kitab tersebut seperti Hawash Abdullah dan Ahmadi Isa. Ahmadi Isa menyimpulkan bahwa Syekh Muhammad Nafis bukan penganut tasawuf falsafi murni, melainkan gabungan antara tasawuf sunni Imam Junaid Baghdadi dan Imam Ghazali dengan tasawuf falsafi Ibnu Arabi, al-Jili, dan yang serupa. Sehingga tidak perlu dipertentangkan. Tiap kubu mempunyai argumennya masing-masing dengan merujuk pada khazanah turats ulama klasik.

Menurut Pak Mujib, kitab Durrun Nafis yang dianggap tasawuf tingkat tinggi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Sebab merasa puas ketika telah mempelajarinya, meski kadang yang dikaji tidak dipahami dengan baik bahkan salah paham. Padahal kitab ini untuk kalangan khusus. Syekh Muhammad Nafis di awal kitabnya menyatakan bahwa yang ia tulis diperuntukkan bagi orang yang ilmunya rasikh (kokoh/mendalam). Syekh Abdussomad al-Falimbani membuat tingkatan kitab-kitab tasawuf, yakni mulai mubtadi (pemula), mutawasith (menengah), dan muntahi (tingkat akhir). Siapa yang mempelajari suatu kitab tidak sesuai tingkatannya, maka akan mendapati kesulitan dan timbul perasaan bosan, bahkan salah paham. Namun jika sesuai tingkatannya, maka akan memberikan manfaat. Bukan cuma muridnya yang harus punya kemampuan yang memadai, tapi sang guru juga harus tahu kapasitas murid. Meski guru punya kemampuan hebat, tapi jika memberikan ilmu tidak pada ahlinya, maka hal ini keliru, kata Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

Itulah sebabnya ada sejumlah ulama yang mengharamkan kitab Durrun Nafis untuk diajarkan, bukan cuma kitab ini. Dalam Risalah Mu’awanah, Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad menyebutkan beberapa kitab yang diharamkan untuk dikaji, bukan karena kontennya yang keliru tapi yang mempelajarinya tidak cukup ilmu. Kata Guru Bakri, salah seorang murid Guru Sekumpul, kalau orang belum bisa berenang maka jangan dilempar ke tengah laut, tentu ia akan tenggelam. Analogi lainnya, jangan beri makan jagung kepada bayi yang baru lahir, karena akan membahayakan. Bukan jagungnya yang dilarang, tapi waktunya yang belum tepat. Saya sendiri pernah diperlihatkan sejumlah manuskrip berbahasa Arab dan Melayu oleh seorang ulama Banjar, kalau tidak khilaf karangan Syekh Abdussomad Bakumpai atau Syekh Abu Thalhah, saya lupa persisnya. Pada halaman depan manuskrip tersebut tertulis dengan tulisan Arab yang artinya, “siapa yang melihat isi kitab ini tanpa seizin ahlinya, seakan-akan ia melihat api neraka”. Pemelihara manuskrip ini mendapatkannya secara turun temurun. Ia persilahkan saya membaca isinya. Saya baca sebagian isinya, kemudian saya tutup, khawatir saya salah paham. Saya simpulkan, ini memang kitab tinggi, saya pribadi tidak punya modal menelaahnya lebih jauh. Ada beberapa nama yang saya ingat dari manuskrip itu, antara lain Abu Yazid al-Busthami.

Uraian tasawuf metafisis yang dianggap rumit, diurai Pak Mujib dengan begitu apik. Ia mampu menjelaskan dengan baik dan mudah dicerna tentang isi kandungan Durrun Nafis, termasuk juga pembahasan martabat tujuh. Wajar, Pak Mujib merupakan wisudawan terbaik S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari. Lebih dari itu, ia dijuluki “Syekh” oleh Karel Steenbrink usai pengukuhan doktornya di Belanda.

Pada bab delapan, disajikan kisah Ayub dan upaya memaknai penderitaan dan kejahatan. Pergumulan Ayub dalam memaknai penderitaan membawa kepada kebahagiaan. Hal ini mendorong pemikiran serius di kalangan mufasir, teolog, filosof, sufi hingga sosiolog. Karena setiap agama menjanjikan kebahagiaan pada pemeluknya. Namun seringkali manusia lalai dengan segala kenikmatan, dan sadar dengan penderitaan.

Terakhir, di bab sembilan, diulas kimia kebahagiaan al-Ghazali. Istilah kimia disini menunjukkan pada sesuatu yang sulit didapatkan dan bernilai tinggi, karena mampu mengubah sesuatu menjadi luar biasa. Hal ini mencakup pengetahuan empat hal, yaitu: 1) pengetahuan tentang diri, 2) pengetahuan tentang Allah, 3) pengetahuan tentang dunia, dan 4) pengetahuan tentang akhirat. Lebih lanjut Pak Mujib mengajak membaca ulang kimia kebahagiaan untuk masa kini.

Dari buku setebal lebih kurang 310 halaman ini, banyak hal baru yang saya dapatkan di dalamnya. Tulisan-tulisan yang ada bersumber dari artikel yang dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. Memang, kajian ini terasa lebih berat ketimbang artikel Jendela yang biasa ditulis Pak Mujib di Banjarmasin Post, sehingga sesekali perlu mengernyitkan dahi, terlebih saat masuk pembahasan tasawuf metafisika. Rasa berat dan rumit itu sedikit banyaknya akan hilang dengan sendirinya, atau malah menjadi asyik membacanya, karena alur tulisan dan munasabah antar kalimat dan paragraf begitu teratur. Seakan kita berada di hadapan penulisnya langsung. Jika dulu Buya Hamka pernah menulis buku “Tasawuf Modern”, maka bolehlah saya menyebut buku ini sebagai “Tasawuf Kontemporer”, karena memuat tasawuf etis dan metafisis, serta aneka pendekatan yang ditawarkan di dalamnya, memberikan manfaat untuk kalangan akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tasawuf. Karena diskusi integrasi keilmuan di PTKIN sudah banyak dilakukan, namun yang lebih penting adalah bagaimana menerapkannya dalam kajian-kajian ilmiah yang kongkret. Buku ini merupakan bukti kongkretnya, sebagaimana judulnya “Tasawuf : Merintis Kajian Interdisiplin”. Selamat membaca!