Kaprodi S2 HK Jadi Narasumber di RRI

Kaprodi S2 Hukum Keluarga Dr. Wahidah, M. H. I dalam paparannya dengan Radio Republik Indonesia (RRI) menjelaskan bahwa sebagian masyarakat banjar dalam praktiknya selalu melakukan penundaan (tertundanya) penyelesaian pembagian harta warisan. Banyak faktor atau alasan yang melatarbelakangi persoalan ini, dan tidak jarang dalam praktiknya menyisakan masalah di belakang harinya, ujarnya

Biasanya yang menjadi alasan penundaan itu adalah untuk kepentingan “bahaul, atau haulan” yaitu ritual arwahan yang memang tidak pernah dilewatkan masyarakat untuk melaksanakannnya, meskipun ini merupakan sesuatu yang tidak disyariatkan, apalagi dalam praktiknya akan mengurangi hak sebagian ahli waris.

Selain itu, alasan lainnya adalah karena salah satu dari orang tua yang masih hidup baik ayah (suami) atau ibu (istri) pewaris. Dalam konteks ini, rasa hormat ahli waris terhadap orang tua mereka, menjadikan perasaan tidak tega untuk membagi cepat harta warisan tersebut. Masyarakat sendiri memandang sikap demikian sebagai “anak durhaka” (tidak tahu diri).

Sehingga menjadi pantangan bagi ahli waris untuk membagi harta peninggalan orang tua mereka, sedangkan salah seorang (ibu/bapak) mereka masih hidup. Kecuali bila inisiatif itu datang dari ayah/ibu mereka sendiri yang menginginkan agar sesegeranya dilakukan penyelesaian pembagian.

Hukum Islam melalui ketentuan farâidhnya, telah memberikan rambu-rambu, agar pembagian warisan itu hendaknya cepat dilakukan. Sebab jika tidak, maka harta peninggalan tersebut dianggap masih milik “bersyarikat” diantara ahli waris. Di khawatirkan dengan penundaan dan keterlambatan itu menjadikan seseorang akan termakan atau bahkan secara sengaja memakan hak saudaranya, dengan cara mengambil/mengakui bagian yang sebenarnya bukan menjadi haknya.

Wahidah menjelaskan Sikap dan tindakan serta kenyataan seperti ini telah dibuktikan pada kasus munâsakhat yang terjadi di kabupaten Hulu Sungai Selatan. Dampak negatifnya telah dirasakan oleh sebagian ahli waris, karena hak waris keturunan pewaris kesatu, kedua, atau ketiga, menjadi hilang oleh oknum sebagian ahli waris.

Penguasaan harta warisan oleh seseorang oknum ahli waris bisa saja terkadang menjadi salah satu pemicu yang menjadikan potensi terjadinya sengketa masalah kewarisan ini. Baik disebabkan oleh kurang tahunya ahli waris mengenai urgennya menyelesaikan pembagian harta warisan secara cepat dan transparan, sesuai ketentuan farâidh, atau kurangnya pengetahuan mengenai cara-cara penyelesaian pembagian harta warisan.

Allah Swt melalui aturan-aturan kewarisan-Nya tersebut, telah menjadikan farâidh sebagai bentuk antisipasi untuk mencegah timbulnya kemungkinan terjadi sengketa yang disebabkan oleh harta (peninggalan). Sengketa warisan tidak dapat dihindari jika ahli waris tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Putusnya tali silaturahmi atau retaknya hubungan antara sesama keluarga, tidak jarang disebabkan oleh masalah waris mewarisi (kewarisan) yang tidak diselesaikan sesuai ketentuan.

Diakhir paparannya Wahidah menyimpulkan bahwa fenomena kewarisan masyarakat muslim Banjar Kalimantan Selatan lebih mengutamakan prinsip musyawarah mufakat diantara keluarga dalam konteks penyelesaian masalah kewarisan dengan segala titik persinggungannya, dan ini sesuai dengan motto masyarakat Banjar dalam merumuskan setiap kebijakan yang diambil yaitu “Jangan Bacakut Papadaan.” simpulnya