“Salafisme dan Tantangan Islamisme di Indonesia”

Jum’at 26 Oktober 2018, PPs UIN Antasari Banjarmasin mengundang Muhammad Wildan, Ph.D (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), menjadi narasumber pada kegiatan kuliah umum, Jumat 26 Oktober 2018. Kegiatan yang bertema “Salafisme dan tantangan Islamisme di Indonesia” ini dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa PPs UIN Antasari Banjarmasin baik program S-2 maupun S-3. Kegiatan ini juga merupakan agenda yang bertujuan memberikan wawasan akademik kepada mahasiswa terkait isu-isu radikalisme di Indonesia. Muhammad Wildan, Ph.D mengawali paparannya dengan menyampaikan bahwa sebuah hal sangat penting bagi guru-guru PAI untuk memahami isu-isu Radikalisme karena guru-guru PAI merupakan salah satu tempat bagi siswa untuk bertanya tentang rasa penasaran mereka akan isu-isu radikalisme, jika para guru PAI tidak menguasai hal tersebut maka Internet adalah jawaban bagi kehausan mereka akan informasi tersebut, internet telah mengubah cara para siswa dalam mendapatkan pengetahuan agama secara instan. Internet juga secara fundamental menggeser pandangan dan pengetahuan keagamaan yang telah ditanamkan sebelumnya. Hal ini merupakan dampak buruk karena dapat menciptakan lebih banyak kesempatan bagi penggunanya untuk menjadi radikal, internet juga berfungsi sebagai Echo Chamber dimana individu dapat menemukan pendukung bagi ide-ide mereka dan dapat disebarkan ke individu lain yang memiliki ide yang sama, internet  juga mewadahi proses radikalisme tanpa perlu adanya kontak fisik, serta internet mampu meningkatkan kesempatan untuk meradikalisasi diri sendiri (self-radikalization).

Bagi remaja zaman sekarang, Internet adalah arena baru untuk berinteraksi dengan komunitas dunia maya. Sehingga, Internet bisa menjadi salah satu pintu masuk bagi paham radikalisme di kalangan anak-anak sekolah. Exstremisme dan radikalisme di media Online ini Nampak terlihat dari data pengguna internet dan medsos di Indonesia yakni: 50% pengguna internet; 49% pengguna medsos; generasi muda menggunakan medsos 3-5 jam/hari. Hal ini diperparah lagi dengan fakta bahwa pada tahun 1998 ada 12 situ radikal/teroris, pada tahun 2003 terdapat 2.650 situs radikal/teroris dan pada tahun 2014 lebih dari 9.800 situs radikal/teroris. Adapun faktor-faktor radikalisme-ekstremisme ini sebenarnya subur diberbagai kalangan, dikarenakan beberapa faktor, diantaranya; pengaruh global deperti Hegemoni AS dan global Jihad, sedangkan yang lokal karena pengaruh State terrorism, penegakan hukum yang rendah dan korupsi yang merajalela, kesenjangan ekonomi (misery), pendidikan, serta interpretasi Agama. Narasi-narasi Islamisme ISIS yang berkembang selama ini diantaranya bahwa dunia Islam sekarang berada dibawah ancaman ( KHILAFAH), barat adalah musuh Islam (THOGHUT), kewajiban muslim adalah untuk membentuk jama’ah (HIJRAH), Kewajiban Muslim adalah membela Islam (JIHAD).

Dalam paparannya Muhammad Wildan, Ph.D menegaskan bahwa ada 4 macam kriteria Islamisme yakni: Purifikasi, Intoleransi, Anti-sistem, dan kekerasan. Dan Islamisme ini banyak bermunculan dikalangan anak muda. Banyak riset-riset yang telah dilakukan seperti oleh: Kemendikbud tahun 2016 ditemukan fakta bahwa 8,5% setuju engan Negara Islam dan 7,5 % setuju dengan ISIS; Riset yang dilakukan oleh BNPT tahun pada 2017 menemukan fakta bahawa 35% siswa di 15 Provinsi memiliki pandangan radikal; Riset dari BIN pada tahun 2017 juga menemukan fakta bahwa24% mahasiswa dan 23,2 % siswa setuju jihad dengan kekerasan; serta masih banyak lagi hasil-hasil riset yang telah membuka mata kita akan bahaya radikalisme.

Menurut Muhammad Wildan, Ph.D. Sebenarnya telah dibentuk lembaga-lembaga seperti Counter Violent  Extremism (CVE) yang didesain bertujuan untuk mencegah individu atau kelompok terlibat pada kekerasan ideologis, target dari program ini secara primer: adalah anak-anak muda dan kelompok marginal. Secara Sekunder: yang kedua kelurga teroris, pesantren dan masjid konservatif dan deportan. Secara tersier: kepada napi teroris, Foreign terrorist fighter dan deportan. Adapun bentuk CVE dari pihak pemerintah dan civil society.

Pada akhir paparanya Muhammad Wildan, Ph.D mengingatkan kembali bahwa untuk menangkal radikalisme salah satunya dengan serta riset-riset yang bisa dikembangkan khususnya oleh mahasiwa S-2 dan S-3 PAI dalam rangka penguatan Prodi PAI.